Search

Ceracau Jum’at



Sebelumnya tulisan ini amat lah tidak penting. Tapi saya senang menuliskannya. Dan mungkin saja anda tak berminat membacanya. Tapi dengan men-tag-nya, anggaplah saya sedang memaksa anda secara santun untuk tetap membaca tulisan ini, sekali pun anda tak berselera.

Baiklah!

Faizil Faruqi Irham Windani namanya. 2 tahun 11 bulan. Dia sepupu saya paling kecil. Pipinya bengkak kayak bakpau, hingga hidungnya agak tergilas. Mulutnya kecil dengan ukuran bibir yang tipis. Giginya berbaris rapi, putih. Belum terkontaminasi oleh sadisnya coklat dan lollipop. Kalo tersenyum ia manis sekali. Tapi yang paling menarik adalah tingkat keramahan dan keceriaannya. Ia begitu mudah tertawa tanpa beban dan dosa. Bahkan hal-hal yang menurut logika orang dewasa tidak lah lucu, tapi baginya bisa teramat menggelitik sampai-sampai ia ketawa cekikikan kayak jin dari Timur Tengah.

Untuk anak seusianya, ia terlalu baik budi. Tak pernah menangis saat bangun di pagi hari. Malah dengan santai menyapa, “mau pigi kelja, Pa? Ke kantos siap gaak?” *maklumlah, Papanya tentara* Juga tak pernah meratap meski pagi-pagi sekali mamanya sudah berangkat ke sekolah. “Mama na kelja? Ti ati Ma”. Paling sedap jika diajak bicara, pasti ia akan sigap merespon, paling tidak berkata  “Oo” jika ia tak tau lagi harus menjawab apa. Coba saja pasang mimik wajah yang menyedihkan, atau muka kusut kayak abis dikunyah lembu, maka ia akan datang dengan tingkat kepedulian yang cumlude. ”napa teta na? cakit? Ooo”, dengan mimik yang memperihatinkan pula. Menyaksikan ia yang berbudi pekerti luhur begitu, rasanya sia-sia sekali kalo tak digangguin. Maka dengan semangat 2013 saya mulai beraksi gila untuk membuat dia kesal, tentu dengan sejuta cara. Hingga ia memekik tujuh oktaf, baru saya berhenti.

Pernah suatu pagi seusai dia mandi dan berbedak wangi, saya meraih kepalanya untuk kemudian saya cium pipinya yang terbuai itu. Tumben, dia menangkis. Saya coba lagi, menangkis lagi. Coba lagi, menangkis lagi. Kali ini dengan pekikan geram membahana. ”adek kok gak boleh teta cium?” Tanpa dosa ia menjawab. “teta na bau bulum mandi”. Gubrakk!! Seketika harga diri saya luluhlantak. *memang sih, sore kemarinnya saya gak mandi. Bukan apa-apa, kota ini seperti negeri bermusim dingin. Jika tak mengingat sholat itu wajib, maka saya tak hendak bersentuhan dengan air. Jadi jangan heran jika selama sebulan di sini saya lebih sering melakukan ritual mandi sekali sehari. Hasyaahh!!*

Namun berhubung hasrat mengganggu saya tinggi sekali hari itu, maka pipinya saya cium paksa bagai romusha Jepang menindas bumi pertiwi yang katanya gema ripah loh jinawi ini. Dan Faiz pun murka. Pekikannya melebihi tujuh oftafnya Siti Nurhaliza. Sementara saya loncat kegirangan karena berhasil membuatnya palak bukan kepalang.

Helloooo….Lantas, kemana arah tulisan ini?

Ya gak kemana-mana. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya senang kepadanya dan sangat suka sekali mengganggunya. Dan ketahuilah bahwa anak kecil itu mampu meredakan amarah dan kegalaun juga kesuntukan yang menyerang akut.

Tuh kan, tulisan ini gak penting!
Ya memang gak penting. Saya hanya ingin bercerita. Udah, gitu aja!

Hepi Jum’at Mubarak.
Curup, 2 Agustus 2013
24 Ramadhan 1434 H

Tidak ada komentar

Posting Komentar