Search

Sebelumnya saya katakan bahwa tulisan ini tidak lah penting. Jadi gak usah bingung antara mau ngerjakan skripswit, gugling tugas atau baca note ini. Apalagi sampe istikharah segala. :P *hasyah! Pede amat sih*

Baiklah! Terus terang kukatakan bahwa dua minggu ini aku teramat galau. Usah kelen tanya apa sebabnya. Cukuplah aku, tuhan dan orang-orang terdekatku yang tau. Seumur-umur belum pernah segalau ini. Nyaris kehilangan fokus. Untung saja ini masa-masa ujian, jadi cukup masuk kelas, bagikan soal lalu mata liar mengawasi gerak gerik mencurigakan. Sesekali mengomel ringan.

Sebagai wanita Islam yang ingin selalu menjadi baik, tentu saja sholat, zikir dan al-qur’an menjadi tempat pelarian. Bahkan saat jadwal ngaji di Mesjid Agung ditiadakan dan aku tak dapat info soal ini, aku bela-belain tetap bertahan di mesjid melabuhkan segala rasa. Hingga menjelang senja aku disuguhi adegan seru yang ‘cukup’ menghibur sekaligus memprihatinkan. Untuk yang ini, kapan-kapan saja kuceritakan ya cin.. :D

Berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, maka aku mulai berangsur-angsur pulih. Meski saat menuliskan note ini syndrome galau itu belum beranjak sepenuhnya. Tapi paling tidak dadaku sudah terasa lebih lapang. “Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S. Albaqarah: 155).

Tuh kan! Ntah kemana-mana udah. Bukan soal ‘galau’ ini sebenarnya yang menjadi tema utama. Tapi cemanalah, nyatanya aku kesulitan untuk memulai tulisan ini dari mana.

Well, karena sudah bertekad untuk sembuh dari kegalauan, maka aku mencari hiburan yang mungkin sedikit konyol. Apalagi kalau bukan menjahilin si Pipi Bakpau aka sepupuku yang berumur 4 tahun, Faiz Windani. Sudah lama aku tak mengganggunya. Beberapa bulan ini damai-damai saja bermain dengannya, bercerita, cipika cipiki, bahkan tidur bersamaku. Maklumlah, untuk seusianya, dia ini terlalu baik budi dan periang luar biasa. Namun hari itu, Senin 16 Juni kemaren aku berselera sekali membuatnya marah dan meratap sejadi-jadinya.

Maka kumulai aksi pertama saat aku membersihkan lantai kamar mandi tadi siang. Seperti biasa, dia datang menawarkan bantuan. Aku mengizinkan. Tapi saat semua hampir kelar, seenaknya saja dia membawa sandal kotor. Terpaksa kusiram ulang tuh lantai. Udah mau selesai, dibawanya lagi tuh sandal sambil ngekeh tanpa dosa, sampe tiga kali berulang. Kalo begini terus mau sampe kapan ‘barbie’ ngebibi di kamar mandi coba? Maka kusetel suara agak sangar lalu berkata, “Sudahlah, Dek. Sana beranjak, Teta capek”. Refleks dia berlari menuju kamar lantas memeluk mamanya sambil meratap, mengadu penuh duka. Aku girang cekikikan di kamar mandi. Hihihihi..

Dan malamnya, tujuanku untuk membuatnya meratap sejadi-jadinya berhasil. Berawal dari dia mencari-cari rotan yang tersimpan di kamar. Lalu dia masuk dan bertanya padaku. Dengan nada menggoda aku memamerkan rotan yang tergenggam manis di jemari kananku. Ia meraih, tapi kualihkan ke tangan kiri. Diraihnya lagi, kuangkat tanganku ke atas bersama rotan ramping yang sudah berumur renta itu. Tak putus cara ia naik ke kasur untuk menggapainya sambil terbahak-bahak. Begitu sudah di atas kasur, kuturunkan tangan dan kuputar-putar tuh rotan. Begitulah, hingga 5 menit ia tak berhasil, wajahnya mulai kesal. Makin kupermainkan dia hingga emosinya mencapai klimaks. Dengan tangan hampa ia keluar kamar sembari membanting pintu sekeras-kerasnya, lalu menangis tersedu-sedu, sesekali napasnya tertahan, mengadu pilu yang teramat sangat pada mamanya. Aku menguping dari kamar. Dia mengumpat, aku nakal dan jahat katanya. Hahaha.

Beberapa menit setelah dia diam, aku keluar kamar. Aku mau lihat reaksinya. Tapi Saudara, adekku ini memang teramat baik budi. Ia menegurku seperti biasa, macam tak ada kejadian apa-apa sambil berkata, “Teta jangan nakalin adek lagi ya”. Aku mesem sambil mengulurkan tangan padanya, “Teta minta maaf ya. Teta cuma melampiaskan kegalauan aja sama adek.”
“Iya, tapi Teta jangan ambil rotan adek lagi, idak nakalin adek lagi”, sambil menggoyangkan jari telunjuknya macam penasehat ulung.
“Siiip Sayang”, aku mencium pipi bakpaunya dengan penuh kasih sayang. Setelahnya, dia bergolek santai disebelahku.