Search

Menualah Dengan Damai; Indonesiaku


Jika usia kemerdekaan Republik Indonesia ini disetarakan dengan umur manusia, maka angka 72 adalah angka rawan pikun dan dibuang ke panti jompo. Sedangkan anak kandung beserta keluarganya akan tertawa lebar karena bebas mengeruk hartanya, atau paling tidak terbebas dari jeratan keletihan mengurus orang tua yang sudah tak berdaya lagi. Hanya orang-orang tua yang beruntung yang akan tersenyum lepas, nyaman dan tenang menapaki angka usia ini. Ialah yang memiliki pewaris berhati embun, berjiwa sutera, dan berpengabdian total.
Demikianlah Indonesia, negara subur yang lahir dari tangan-tangan berdarah pejuang sejati. Jika dibayangkan, sepertinya melahirkan Indonesia ini jauh lebih perih dan sakit ketimbang melahirkan bayi mungil dari rahim seorang perempuan. Ada banyak penumpasan yang harus dihadapi, bahkan yang tak bersalah pun meski rela dikorbankan demi melahirkan sebuah bangsa bernama Indonesia. Dan akhirnya, setelah ratusan tahun lamanya, Indonesia lepas dari cengkraman penjajahan dengan dibacakannya proklamasi oleh Pak Soekarno tahun 1945 silam. Maka jadilah 17 Agustus sebagai hari jadinya Indonesia.

Sebagaimana bayi yang baru lahir, Indonesia juga menapaki kehidupan selangkah demi selangkah. Berbenah seulet dan segiat mungkin agar bisa berdiri sendiri, sebab ia diberikan Allah Ta’ala jutaan kelebihan dibandingkan dengan negara lain. Lihatlah laut yang membentang, seakan tak bertepi mata memandang. Dongakkan pula kepala demi melihat gunung-gunung yang menjulang kokoh, penuh dengan panorama yang menakjubkan. Lalu menunduklah sedikit untuk menyaksikan tanah yang suburnya melebihi kesuburan rahim-rahim wanita Palestina. Tanah yang mengandung limpahan kekayaan mulai dari emas, perak, tembaga, dan yang lainnya. Kemudian masuklah sedikit ke dalam relung jiwanya. Maka akan kau temukan penghuninya yang ramah, santun, penolong, penyayang dan setia. Wajar saja kalau saya amat bersyukur lahir dan besar di Indonesia. Rasanya tak ada negeri yang nyaman selain di tanah air ini.

Namun seiring pertumbuhan Indonesia ini, tertempah pulalah rakyatnya oleh zaman yang kian hari kian jauh dari jiwa bangsa yang sebenarnya. Sehingga Indonesia mulai terseok-seok walau hanya sekedar bertahan hidup. Harta kekayaannya mulai dirampok oleh tangan-tangan yang serakah, idealismenya dibuat keruh oleh jiwa-jiwa yang haus kekuasaan, dan budi luhurnya perlahan dikotori oleh pikiran-pikiran yang terbungkus birahi duniawi. Ironisnya, semua itu dilakukan oleh sebagian dari anak kandungnya sendiri; rakyat Indonesia. Rakyat yang konon teramat mencintainya. Ah, cinta..sekejam inikah?

Sungguh aku tak tau seberapa lama umur bangsaku ini diberikan tuhan. Yang kutau, diusianya yang menginjak angka 72 ini, semestinya dia telah tumbuh menjadi negeri yang mapan. Negeri yang diimpikan semua orang. Negeri yang membuat anak keturunannya hidup bahagia dengan ketenangan dan kecukupan segala kebutuhan hidup. Tapi nyatanya, garam saja pun sulit ditebus. Sehingga bukan makanan saja yang hambar, hidup pun kian tawar bahkan terasa kelat. Kadang-kadang justru terasa mengerikan. Pembunuhan di mana-mana, kezholiman yang merajalela, pengkhianatan yang menjamur, dan kemunafikan yang berkembang pesat. Sehingga sebagian besar anak kandungnya pun tak mencicipi kekayaan yang dimilikinya, meski barang sedikit saja. Padahal semua anak punya hak yang sama kan ya? Amboiiii...

Lagi, diusianya yang ke 72 ini, aku melihat abang-abang kami, anak yang tengah bertugas mengurusnya kini mengajak kami, adik-adik kecilnya ini “Merawat Indonesia”, sang ibu pertiwi kebanggaan. Sungguh tajuk anniversary yang menyejukkan. Kami sebagai adik kecil sih mau-mau saja. Sebab kami memang mencintai ibu kami. Kami ingin merawatnya sebaik mungkin, agar sang ibu tetap berguna meski sudah renta nanti. Bukankah sebaik-baik manusia itu yang paling bermanfaat bagi orang lain? Dan terus terang, aku pribadi tak ingin sang ibu terbuang diusia senjanya. Jangan sampai ibu pertiwi menjadi bagian dari pepatah habis manis sepah dibuang. Apalagi sampai dijual dan dilempar ke panti jompo bernama Adikuasa. Jangan! Maka ajakan “Merawat Indonesia” ini kusambut dengan baik.

Tapi melihat kondisi yang terpampang saat ini, aku jadi ragu, duhai ibu. Sebab peran kami hanya sebagai adik kecil yang menjalankan titah. Perawat yang sebenarnya adalah abang-abang kami itu, yang telah sekolah tinggi-tinggi dan punya pengalaman yang lebih dari cukup dibanding kami. Namun yang kami lihat sampai detik ini, engkau belum terawat dengan sempurna. Mungkin batinmu perih, Ibu Pertiwi. Tapi kau tak berdaya. Aku pun demikian. Maka dengan kondisiku yang masih kecil ini, aku hanya berharap ajakan abang-abang itu benar adanya, terlihat dalam tindak dan sikap. Merawatmu dengan sepenuh cinta dan rasa memiliki yang menghujam. Agar kau tak tergadai ke panti Adikuasa itu. Hingga kau benar-benar nyaman dan tentram menapaki usia yang kian renta. Menualah dengan damai; Indonesiaku!

*DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE 72*




3 komentar