Search

% . . . Untuk Imam, 20 . . . %


Tak ada yang lebih syahdu malam ini selain ritmik hujan yang menggelayut mesra di atap rumahku, mungkin rumahmu juga. Membuatku ingin bercerita sesuatu kepadamu. Ini tentang murid privatku yang masih kelas 5 SD.

Dua hari yang lalu, tepatnya senin sore, seperti biasa aku mengajar sepasang bocah kakak beradik yang masih berkutat di bangku SD. Si sulung namanya Ilza, berbadan sedikit tambun, dengan kulit hitam yang cukup legam, namun hidungnya mancung. Sekilas, dia mirip bocah Hindustan. Dia tidak suka berpikir, tapi jago nyelutuk.

Sementara si bungsu bernama Nadin, kelas 2 SD. Kontras sekali dengan abangnya. Gadis cilik ini berbadan tipis, berkulit sawo, rambut lurus pendek setengkuk. Suka menggambar dan hobi bertanya. Gaya ngomongnya lucu dan ketawanya gemesin. Bolak balik bongkar pasang binder. Urusan perasaan jangan 
ditanya, dia bocah paling adil soal menimbang rasa. 

Saat belajar hendak dimulai, aku pamit sebentar ke kamar mandi. Kurasa ini momen yang paling disukai mereka, sebab bisa nyolong waktu tuk bermain. Meski hanya sekedar melempar bola bekel sekali dua atau memutar gasing. Tak kurang dari lima menit daku kembali dengan kaos kaki yang belum terpasang. Aku duduk, meraih buku sambil bertanya kabar pelajaran di sekolah mereka. Tiba-tiba Ilza melontarkan kalimat yang tidak kusangka-sangka.

“Miss, abang gak mau liat Miss, kaos kaki Miss belum terpasang,” ujarnya sambil memalingkan muka.

“Miss tau kan aurat perempuan itu yang boleh nampak cuma telapak tangan dan muka aja”. Ungkapnya bak hakim yang sedang mendakwai tersangka. Daku terpelongo lalu melirik kakiku yang masih lembab.

“Iya, ini Miss mau pasang.” Jawabku sembari tersenyum malu dan bersiap make tuh kaos.
Berikutnya, dia melempar pandang pada adiknya yang entah mengapa hari itu berbaju kensi. Itu kali pertama sepanjang sejarah aku mengajar mereka Nadin memakai baju begituan. Ilza nyelutuk lagi.

“Nadin, agama Nadin apa?”

“Islam lah,” jawabnya dengan ekspresi kesal berbaur heran.

“Nadin taukan Islam itu sopan, kok pake baju begituan?” Alahai….aku melotot bengong. Kagak nyangka nih anak mendebat dua gadis sore ini. Nadin manyun dan memukul si abang. Tiba-tiba aku tertarik memancing pemahaman si hitam Ilza. Lantas daku melempar satu kasus padanya.

“Ilza, kalo nanti Nadin gede gak pake jilbab boleh gak?”

“Oppss, jelas nggak Miss. Abang jitak kalo gak nutup aurat keluar.”

“Ngapain juga abang ngurusin Nadin, suka-suka Nadin lah,” si gadis protes.

“Iya lah, namanya abang sayang sama Nadin, trus Nadin kan emang tanggung jawab abang.” Ucapnya gagah.

“Lha, itu mama gak pernah kok di larang Om Gah kalo gak berjilbab. Padahal Om Gah kan abangnya mama. Apa bedanya sama Nadin?” si gadis membela diri. Daku sempat shock juga dengan ucapan si cerewet Nadin ini. Kupikir Ilza gak bakalan bisa menjawab lagi, paksa menyerah kalah telak. Tapi nyatanya daku semakin terkejut dengan jawaban si abang tambun ini.

“Mama ya mama, urusan dia sama keluarganya. Urusan Om Gah juga dengan adik-adiknya.  Gak tanggung jawab abang itu. yang jadi tanggung jawab abangkan Nadin, keluarga abang.” Ucapnya penuh kemenangan. Si gadis terdiam sambil tersenyum sejuta arti.

Wow…aku bersorak dalam hati. Heran, takjub, salut, ah…entahlah…..semoga saja derap waktu membawanya semakin sholeh, mengayom adiknya menjadi sholehah.
****

Hebat ya, Imam. Kelak, ketika aku pulang ke rusuk kirimu, semoga saja Allah memberi kita keturunan yang sholeh sholehah, hafiz hafizhah, qori qoriah, jadi generasi rabbani. Tentu saja, sebelum mereka dikirim ke bumi, kita dulu yang harus sholeh sholehah. Bukankah kita ini madrasah pertama kelak bagi mereka?

Sebab itu, jaga dirimu ya, Mam. Godaan di perjalanan abaikan saja. Kau harus tiba di pintu rumahku dalam keadaan utuh terbungkus iman.

Ini dulu ya,
Lain waktu aku berkisah lagi.
Assalmu’alaikum…

Tidak ada komentar

Posting Komentar