Search

Mitos Nenek Moyang


Sebagai makhluk tuhan yang terlahir di era 80-an, tentu saja aku berkubang di sekeliling para orang tua dan nenek - kakek yang lahir di masa penjajahan. Seolah tabiat bawaan lahir, sejak kanak-kanak aku teramat hobi berbicara pada siapa pun. Mau itu omak – omak, anak gadis, anak bujang, bahkan nenek – nenek yang sudah bungkuk. Aku senang jika diajak bercerita oleh mereka. Apalagi jika dilibatkan dalam aktivitas yang sedang mereka kerjakan. Tapi sekarang aku tidak ingin membicarakan hal ini. Aku hanya ingin menyajikan beberapa cerita orang tua yang terilhami dari nenek moyang, membuatku tertipu tapi sebagian bermanfaat.

Oke, kita mulai saja!
1.    
          1. Rendam Kaki, Baca Buku

Musim ujian adalah saat-saat dimana aku mulai bersungut-sungut, bergeliat mencari cara agar semua pelajaran terekam baik dalam kepala. Sampai – sampai aku pernah berkeinginan mencari pil yang ketika diminum maka segala isi buku langsung berpindah ke otak, tanpa perlu mengulang bolak balik. Dan pada suatu waktu, kudengarlah perkataan seorang orang tua bahwa jika ingin pintar dan gampang menyerap pelajaran, maka ulanglah pelajaran di subuh hari sambil merendam kaki di dalam ember.

Maka dengan semangat menjulang tinggi, kupraktekkanlah petuah ini pada subuh esoknya. Kuletakkan ember berisi air di bawah kursi, lalu aku duduk sambil memasukkan kaki ke dalamnya, dan tangan memegang buku. Ritual pun dimulai. Sebaris dua baris hingga beberapa halaman kubaca, namun tak jua semua terserap. Hanya beberapa saja. Aku masih bersabar dan melanjutkan bacaan. Kian lama bukan malah tersedot semua isi buku ke dalam kepala, yang ada aku kedinginan dan berujung kisut di jari-jari kakiku. Beberapa waktu setelah itu, aku menggugat. Teori ini tak benar dan tidak terbukti. Rupanya setelah diusut-usut, maksud dari merendam kaki itu biar jangan mengantuk ketika membaca atau belajar. Bagaimana mungkin paham dengan bacaan jika kondisi mata mengantuk? Uhh..!!
2.        
      2. Nganyam Ketupat

Di kampungku, ketupat adalah makanan yang tiap pagi dijajakan dengan pisang goreng untuk disantap dengan secangkir kopi atau teh. Penjualnya tak lain dan tak bukan adalah Omaku sendiri. Menariknya, si Oma bisa menganyam sarang ketupat sambil mejamin mata. Pun saat di depan tipi, matanya bisa melotot ke layar kaca sementara tangan sigap menganyam. Aku heran. Yang kulihat nganyam ketupat itu sangat ruwet, ribet, ah…, kusutlah pokoknya. Tapi Omaku yang berhidung mancung ini semacam tak ada beban sedikit pun.

Penasaran, aku iseng minta belajar menganyam. Tentu saja dia mau mengajari dengan penuh suka cita. Sebab itu berarti, ketika aku sudah bisa menganyam, maka beliau punya asisten gratis menyelesaikan ratusan anyaman setiap harinya. Pelajaran pertama, teknik menggulung nyiur 3 kali di masing-masing tangan dengan posisi kepala nyiur berlawanan arah dan sedikit dilonggarkan. Dan Alhamdulillah puluhan kali aku gagal. Lanjut ke cara penganyaman pertama yang tentu saja juga mencetak rekor gagal puluhan kali jua. Walhasil aku mengundurkan diri.

Menanggapi pengunduran diri tanpa surat ini, si Oma tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatku kaget dan panik. “Biar kau tau ya, Dahlia. Kalo anak gadis gak bisa menganyam ketupat maka tak boleh nikah”.

Jantungku berdebar, cemas. Meski saat itu aku masih di bangku sekolah dan masih amat jauh menuju gerbang rumah tangga, aku tetap was-was. Konyol amat kan ya cuma gara-gara anyaman ketupat ini aku tak mencicipi anugrah tuhan yang maha indah itu. Maka beberapa saat kemudian aku kembali belajar menganyam. Kali ini bukan dengan Oma, tapi dengan seorang perempuan dewasa yang masih ada hubungan saudara denganku. Aku memanggilnya Uning. Di tangan Uning lah akhirnya aku mahir menganyam sarang ketupat.

Melihat anak gadisnya yang sudah pande nganyam ini, Bunda pun mulai getol nyuruh masak ketupat di rumah. Aku sih oke – oke saja. Tapi  giliran kusuruh bantuin nganyam, beliau mengaku tak bisa tanpa dosa. Mendadak aku menyadari sesuatu. Selama ini Bunda memang tak pernah masak ketupat. Jika ingin, beliau tinggal pesan pada Oma. Dan ohh…tentang nikah itu..

Bunda beneran gak bisa nganyam ketupat?”, aku memburu.

“Beghhh..iya, beneran. Tak pernah masuk ke akalku tiap kali Omamu ngajari”.

“Jadi kok bisa Bunda nikah?”, tanyaku sembari mengernyutkan dahi.

”Apa hubungannya dengan ketupat?”, Bunda mesem.

“Aih, tapi kata Oma…………”, aku tak sanggup lagi melanjutkan kata – kata. Sementara Bunda kian merekah senyum misterius. Huh! Tertipu lagi.

Bersambung…….




2 komentar

  1. hhaa.. anak dara indak boleh duduak di depan pintu, nti tak dapatlah jodoh.. :) *padahal orang gak bisa lewat

    BalasHapus
  2. abis giling cabe tak boleh orang lain yang nyuci batu gilingannya, nanti tak jadi orang melamar.. *padahal biar gak pemalas. ^_^

    BalasHapus